Sabtu, 17 Juli 2010

Cahaya tak Memiliki Usia





Cahaya tak Memiliki Usia
Safriyati (FKIP Fisika)

Ada satu benda di dunia ini, yang sudah ada semenjak alam semesta lahir, tapi tidak pernah merayakan hari kelahriannya alias tak berumur. Itulah foton, atau partikel cahaya. Tapi, bagaimana mungkin? Mari kita telaah dengan teori relativitas khusus Einstein.

Begitu mendengar teori relativitas khusus, ingatan kita spontan menuju konstanta kecepatan cahaya, kecepatan tercepat yang ada di jagad raya ini. Relativitas khusus mengatakan, ruang dan waktu, oleh Newtonian dianggap terpisah dan bernilai absolut, menyesuaikan diri mereka demi menjaga konstanitas kecepatan cahaya yang bernilai 3x108 meter/detik tersebut. Dengan kata lain, dimensi waktu akan melambat atau mencepat, dan dimensi ruang akan memanjang atau memendek, sehingga kecepatan foton selalu bernilai sama.

Konsep ini disimpulkan dengan satu kalimat, ”Benda bergerak akan merasakan waktu melambat dan ruang memendek.”

Konsep ini tidaklah sederhana, saat Einstein mempostulatkannya pada tahun 1905. Diperlukan puluhan tahun bagi para fisikawan untuk benar-benar bisa mengerti teori tersebut.

Sekarang mari kita ulangi percobaan fantasi yang pernah Einstein lakukan untuk memahami bagaimana waktu melambat dan ruang memendek.

Bagaimana waktu melambat?

Bayangkan kita memiliki dua buah jam-foton seperti pada Gambar 1. Kerja jam-foton tersebut adalah sebagai berikut: sebuah foton terperangkap dalam dua buah cermin (yang merefleksikan 100�ahaya yang datang). Foton ini akan bergerak maju-mundur membentur dua cermin tersebut. Kedua cermin ini kita lengkapi dengan sepesial detektor yang akan berbunyi ”tik” setiap kali foton menyentuh permukaannya.

Kecepatan cahaya 3x108 meter/detik berarti cahaya akan menempuh jarak sejauh 3x108 meter dalam satu detik. Jika dua cermin tadi terpisah sejauh 30 meter (d = 30 meter), maka total foton menabrak dua cermin tersebut adalah 107 kali tik. Dengan kata lain, setiap kali detektor kita berbunyi 107 tik berarti itu sama dengan satu detik.

Satu jam-foton berdiri diam di atas Bumi, sementara yang lain kita beri kecepatan v pada sumbu-x. Foton pada jam-foton yang diam (kita sebut foton #1) harus bergerak 30 meter untuk bisa menghasilkan 1 tik. Tapi foton pada jam-foton yang bergerak (foton #2) harus begerak sejauh d’, yang dari Gambar 2 bisa kita lihat lebih panjang daripada d.

Akibatnya, saat foton #1 sudah membuat 107 tik, foton #2 masih berjuang untuk menghasilkan tik yang sama. Saat foton #2 berhasil menghasilkan 107 tik, foton #1 sudah memulai perjalanan untuk menghasilkan 107 tik kedua. Artinya, benda yang bergerak akan merasakan waktu 1 detik lebih lama (waktu melambat) daripada saat dia diam.

Bagaimana ruang memendek?

Bayangkan kita punya sebuah mobil yang panjangnya diukur saat diam adalah 5 meter. Tugas kita sekarang adalah mengukur panjang mobil ini saat berjalan, sementara kita tetap diam di atas Bumi. Tentu kita tidak mengukur dengan meteran seperti yang kita lakukan saat mobil diam.

Cara yang terbaik adalah memakai stopwatch. Hidupkan stopwatch ketika ujung depan mobil menyentuh sebuah garis acuan dan matikan saat ujung belakangnya melewati garis itu.

Jika kita bisa melakukan dengan akurat, maka waktu yang ditunjukkan stopwatch (t) berbanding lurus dengan panjang mobil (L), yaitu L = v*t, dengan v adalah kecepatan mobil tersebut. Panjang mobil saat jalan bisa didapat dengan mudah karena kita punya data v dan t.

Kalau percobaan itu dilakukan beberapa kali dengan meningkatkan kecepatan mobil, akan diperoleh hasil, semakin cepat pergerakan mobil maka semakin pendek panjang mobil. Kenapa demikian?

Dengan pemahaman waktu melambat di atas, hal ini lebih mudah dimengerti. Mobil yang berjalan akan mengalami perlambatan waktu. Semakin cepat dia bergerak, semakin lambat waktu yang dia rasakan, sehingga waktu yang diukur stopwatch semakin kecil. Dengan demikian, sesuai dengan L = v*t, panjang mobilpun semakin memendek.

Pergerakan dalam 4-Dimensi

Sejauh ini kesimpulan dari percobaan fantasi kita adalah semakin cepat benda bergerak, semakin melambat waktunya, dan semakin memendek ruangnya. Sekarang kita kembangkan kesimpulan itu untuk masuk dalam konsep ruang-waktu teori relativitas khusus.

Kita hidup dalam 4-dimensi, 3 dimensi ruang dan 1 dimensi waktu. Keempat dimensi ini dibutuhkan untuk memberikan koordinat lengkap sebuah objek di alam semesta ini. Misalnya saat menggambarkan keberadaan seseorang di Lantai 4 Gedung PAU di Jln. Ganesha 10 (untuk menggambarkan 3 dimensi ruang), kita masih harus menyatakan pada pukul berapa orang itu ada di sana.

Sebuah objek sebenarnya bergerak di 4 dimensi ini. Sebuah mobil yang diam, tetap bergerak di dimensi waktu. Saat mobil ini dijalankan, maka pergerakannya di dimensi waktu “harus dibagi” dengan pergerakan di dimensi ruang. Sehingga pergerakan di dimensi waktu berkurang: waktu melambat karena pergerakan benda di dimensi ruang, persis seperti yang kita buktikan percobaan jam-foton.

Logika tersebut mengantarkan kita pada pemikiran, untuk mencapai pergerakan maksimum di dimensi ruang maka pergerakan di dimensi waktu harus nol. Pada kondisi inilah kecepatan benda menempuh dimensi ruang bisa maksimal.

Dan sesuai dengan teori relativitas khusus, bahwa kecepatan maksimal adalah kecepatan cahaya, segera kita sadari bahwa cahaya sama sekali tidak bergerak pada dimensi waktu. Dengan kata lain, foton tidak berumur . Foton yang dihasilkan semenjak alam semesta terbentuk sampai sekarang umurnya sama!

Bisa melewati kecepatan cahaya?

Ini terkait dengan salah satu formula teori relativitas khusus yang sangat terkenal: E=mc2, di mana E adalah energi, m adalah massa, dan c adalah konstanta kecepatan cahaya.

Formula tersebut menjelaskan relasi langsung antara energi-massa (konservasi energi-massa). Sebuah objek dengan massa m bisa menghasilkan energi E sebesar mc2 – dan karena c sebuah konstanta yang besar, massa yang kecil tetap akan menghasilkan energi yang besar. Bayangkan, Hiroshima tahun 1945 hancur akibat energi yang dihasilkan 1�ari 2 pounds Uranium.

Di sisi lain, formula ini memainkan peranan penting dalam pergerakan objek dalam 4-dimensi. Benda yang bergerak memiliki energi kinetik, semakin tinggi kecepatannya semakin besar energinya.

Saat kita paksa partikel muon mencapai kecepatan 99,9�ecepatan cahaya, muon memiliki energi yang besar. Karena konservasi energi-massa, energi tadi meningkatkan massa muon 22 kali lebih massif daripada massa-diamnya (0.11 MeV).

Tentu saja semakin masif (pejal) benda, semakin susah untuk bergerak cepat. Ketika kecepatannya dinaikkan menjadi 99,999�ecepatan cahaya, massanya bertambah 70.000 kali! Muon semakin masif dan semakin cenderung untuk tidak bergerak. Sehingga dibutuhkan energi yang tak berhingga untuk melewati kecepatan cahaya – jumlah energi yang tidak mungkin.

»
»

Salju, Fenomena Alam yang Menakjubkan : Cintaku Sehangat SaljU

Salju, Fenomena Alam yang Menakjubkan : Cintaku Sehangat Salju
SAFRIYATI (FKIP Fisika)

SAAT ini di Eropa dan wilayah utara bumi tengah musim dingin.Salah satu fenomena menarik saat musim dingin adalah salju. Menjadi unik karena kristal-kristal es yang lembut dan putih seperti kapas ini hanya hadir secara alami di negeri empat musim atau di tempat-tempat yang sangat tinggi seperti puncak gunung Jayawijaya di Papua. Kenapa salju secara alami tidak bisa hadir di wilayah tropis seperti negeri kita?

Proses pembentukan salju

Untuk menjawab itu, bisa kita mulai dari proses terjadinya salju. Berawal dari uap air yang berkumpul di atmosfer Bumi, kumpulan uap air mendingin sampai pada titik kondensasi (yaitu temperatur di mana gas berubah bentuk menjadi cair atau padat), kemudian menggumpal membentuk awan. Pada saat awal pembentukan awan, massanya jauh lebih kecil daripada massa udara sehingga awan tersebut mengapung di udara – persis seperti kayu balok yang mengapung di atas permukaan air. Namun, setelah kumpulan uap terus bertambah dan bergabung ke dalam awan tersebut, massanya juga bertambah, sehingga pada suatu ketika udara tidak sanggup lagi menahannya. Awan tersebut pecah dan partikel air pun jatuh ke Bumi.

Partikel air yang jatuh itu adalah air murni (belum terkotori oleh partikel lain). Air murni tidak langsung membeku pada temperatur 0 derajat Celcius, karena pada suhu tersebut terjadi perubahan fase dari cair ke padat. Untuk membuat air murni beku dibutuhkan temperatur lebih rendah daripada 0 derajat Celcius. Ini juga terjadi saat kita menjerang air, air menguap kalau temperaturnya di atas 100 derajat Celcius karena pada 100 derajat Celcius adalah perubahan fase dari cair ke uap. Untuk mempercepat perubahan fase sebuah zat, biasanya ditambahkan zat-zat khusus, misalnya garam dipakai untuk mempercepat fase pencairan es ke air.

Biasanya temperatur udara tepat di bawah awan adalah di bawah 0 derajat Celcius (temperatur udara tergantung pada ketinggiannya di atas permukaan air laut). Tapi, temperatur yang rendah saja belum cukup untuk menciptakan salju. Saat partikel-partikel air murni tersebut bersentuhan dengan udara, maka air murni tersebut terkotori oleh partikel-partikel lain. Ada partikel-partikel tertentu yang berfungsi mempercepat fase pembekuan, sehingga air murni dengan cepat menjadi kristal-kristal es.

Partikel-partikel pengotor yang terlibat dalam proses ini disebut nukleator, selain berfungsi sebagai pemercepat fase pembekuan, juga perekat antaruap air. Sehingga partikel air (yang tidak murni lagi) bergabung bersama dengan partikel air lainnya membentuk kristal lebih besar.

Jika temperatur udara tidak sampai melelehkan kristal es tersebut, kristal-kristal es jatuh ke tanah. Dan inilah salju! Jika tidak, kristal es tersebut meleleh dan sampai ke tanah dalam bentuk hujan air.

Pada banyak kasus di dunia ini, proses turunnya hujan selalu dimulai dengan salju beberapa saat dia jatuh dari awan, tapi kemudian mencair saat melintasi udara yang panas. Kadang kala, jika temperatur sangat rendah, kristal-kristal es itu bisa membentuk bola-bola es kecil dan terjadilah hujan es. Kota Bandung termasuk yang relatif sering mengalami hujan es. Jadi, ini sebabnya kenapa salju sangat susah turun secara alami di daerah tropik yang memiliki temperatur udara relatif tinggi dibanding wilayah yang sedang mengalami musim dingin.

Struktur unik salju

Kristal salju memiliki struktur unik, tidak ada kristal salju yang memiliki bentuk yang sama di dunia ini (lihat Gambar SnowflakesWilsonBentley.jpg) – ini seperti sidik jari kita. Bayangkan, salju sudah turun semenjak bumi tercipta hingga sekarang, dan tidak satu pun salju yang memiliki bentuk struktur kristal yang sama!

Keunikan salju yang lainnya adalah warnanya yang putih. Kalau turun salju lebat, hamparan bumi menjadi putih, bersih, dan seakan-akan bercahaya. Ini disebabkan struktur kristal salju memungkinkan salju untuk memantulkan semua warna ke semua arah dalam jumlah yang sama, maka muncullah warna putih. Fenomena yang sama juga bisa kita dapati saat melihat pasir putih, bongkahan garam, bongkahan gula, kabut, awan, dan cat putih.

Selain itu, turunnya salju memberikan kehangatan. Ini bisa dipahami dari konsep temperatur efektif. Temperatur efektif adalah temperatur yang dirasakan oleh kulit kita, dipengaruhi oleh tiga besaran fisis: temperatur terukur (oleh termometer), kecepatan pergerakan udara, dan kelembapan udara. Temperatur efektif biasanya dipakai untuk menentukan “zona nyaman”. Di pantai, temperatur terukur bisa tinggi, namun karena angin kencang kita masih merasa nyaman. Pada saat salju turun lebat, kelembapan udara naik dan ini memengaruhi temperatur efektif sehingga pada satu kondisi kita merasa hangat.

Jadi, Anda bisa mengirim ungkapan romantis kepada teman Anda, “cintaku sehangat salju”. Kalau dia tidak paham, kesempatan untuk Anda menjelaskan fenomena ini. Fisika pun bisa menjadi senjata yang andal bagi mereka yang sedang pedekate.***

Jembatan Cair, Keajaiban Fisika




Jembatan Cair, Keajaiban Fisika
SAFRIYATI

Jembatan yang terbuat dari zat cair? Bukan sulap bukan sihir, sebab itu bisa dibuat dengan ilmu fisika. Sebuah tim peneliti dari Austria mendemonstrasikan bahwa kini kita dapat membangun jembatan yang tersusun dari zat cair. Dalam percobaan tersebut, tim ini berhasil memperagakan sebuah jembatan yang tersusun dari air murni yang telah didestilasi tiga kali. Mereka juga menghubungkan celah sepanjang 2,5 centimeter hingga selama 45 menit, seakan melawan pengaruh gaya gravitasi. Sepintas hal ini terdengar seperti sihir, walaupun jelas hanyalah rekayasa fisika. Lantas, apa rahasianya?

Tegangan tinggi

Salah satu kunci dalam percobaan tersebut adalah pemakaian tegangan listrik yang tinggi. Tim tersebut menempatkan air murni yang akan dijadikan jembatan itu di dalam dua buah gelas kaca, kemudian sepasang elektroda diletakkan di dalamnya. Kedua gelas kaca diletakkan berdekatan namun tidak berhimpitan. Dalam waktu hanya seperseribu detik setelah perbedaan tegangan sebesar 25 ribu volt diterapkan melalui sepasang elektroda tersebut, air di dalam salah satu gelas kaca merambat cepat ke tepian dan secepat kilat melompat melewati celah di antara kedua gelas kaca.

Apa yang menyebabkan tegangan tinggi tersebut mampu melontarkan air melompati celah dan lalu menjaga “jembatan cair” tidak runtuh dipengaruhi gravitasi? Saat ini belum ada yang mengetahuinya dengan pasti. Walaupun begitu, beberapa kesimpulan awal sudah bisa ditarik dari percobaan itu.

Secara kimiawi sebuah molekul air dilambangkan dengan kode H2O. Ini karena memang molekul air terdiri dari dua atom hidrogen (H) yang bermuatan positif dan sebuah atom oksigen (O) bermuatan negatif. Saat genangan air murni dipengaruhi oleh medan listrik, seperti saat tegangan tinggi diterapkan pada percobaan di atas, maka molekul-molekul air akan berjejer rapih dan saling bergandengan: atom-atom hidrogen tertarik ke elektroda bermuatan negatif sementara atom oksigen menjurus ke elektrode positif. Selama ini hal ini sudah diketahui berlaku pada tingkat molekuler, akan tetapi belum pernah diperagakan sebelumnya pada tingkat makroskopik seperti pada percobaan jembatan cair di atas.

Untuk menguji hipotesa ini, tim peneliti yang sama kemudian menggunakan sebatang kaca yang telah lebih dulu diberi muatan listrik. Ternyata memang medan listrik dari batang kaca mampu membuat bentuk jembatan cair itu berubah dari lurus menjadi melengkung mendekati batang kaca.

Air Mengalir Dalam Air

Di antara pengukuran lain yang dilakukan, tim tersebut juga mengukur variasi kepadatan cairan di sepanjang “jembatan dari air” yang terbentuk.

Mereka menggunakan metode optik yang umum disebut ‘visualisasi Schlieren’ . Dalam metode ini, berkas-berkas cahaya dilewatkan tegak lurus terhadap “jembatan dari air” dan kemudian melewati tepian sebuah silet tajam sebelum mencapai detektor cahaya. Jika kepadatan cairan di sepanjang jembatan itu seragam nilainya, maka semua berkas cahaya akan melewati tepian silet dan tertangkap oleh detektor. Akan tetapi, jika ada variasi kepadatan cairan pada jembatan itu, variasi itu akan membelokkan dan mengganggu jalan sebagian berkas cahaya yang lewat, sehingga total berkas yang tertangkap detektor menjadi berkurang.

Dengan metode tersebut, tim dari Austria itu menemukan bahwa kepadatan cairan pada jembatan memang tidak seragam, di mana sisi bagian dalam dari jembatan lebih padat daripada sisi luarnya. Selain itu, variasi kepadatan cairan tersebut tidaklah statis, melainkan mengalir dari gelas kaca yang satu ke yang lainnya. Sekedar sebagai analogi, anda bisa membayangkan sebuah kabel ko-axial (walaupun analogi ini tidaklah sangat akurat karena kedua fenomena ini berasal dari hukum fisika yang berbeda) di mana kabel di lingkaran dalam mengalirkan arus listrik sedangkan kabel di lingkaran luar hanyalah membantu menyalurkan aliran itu. Begitu juga, dalam “jembatan cair” ini, molekul air yang mengalir adalah molekul-molekul di sisi dalam, sedangkan molekul-molekul di sisi luar hanyalah diam dan membantu aliran molekul-molekul di sisi dalam jembatan.

BOM HIDROGEN DENGAN KEKUATAN LEDAK YANG DAHSYAT


» daftar artikel

BOM HIDROGEN DENGAN KEKUATAN LEDAK YANG DAHSYAT
safriyati (MTsN GRONG-GRONG)

Bom didefinisikan sebagai alat peledak yang digunakan untuk menghancurkan target. Biasanya digunakan dalam perang maupun aksi – aksi terorisme. Pada perang dunia ke II kota Hirosima dan Nagasaki dihancurkan dengan menggunakan bom atom oleh Amerika Serikat. Ini mengakibatkan pada masa itu pemerintahan jepang seolah tidak berdaya dan harus menyerah. Ledakan bom atom yg dijatuhkan dikota Hirosima dan Nagasaki mempunyai kekuatan menghancurkan yang mengagumkan. Picture.1 adalah gambar dari ledakan bom atom yang jatuh di kota nagasaki, ia membentuk awan jamur yang membumbung hingga mencapai ketinggian 18 km. Tahukah anda, ada lagi bom yang lebih dahsyat ledakannya dari pada bom atom. Bom itu adalah Bom Hidrogen

Bom hidrogen merupakan bom yang mempunyai tenaga dari reaksi fusi inti – inti atom hidrogen berat yang disebut deutron. Bom ini mampu meledak ratusan kali lebih dahsyat dari bom atom karena didahului oleh reaksi fisi (Pembelahan) yang merangsang terjadinya reaksi fusi (penggabungan atom – atom hidrogen). Penggabungan atom-atom Hidrogen ini melepaskan energi yang besar sekali melebihi ledakan dinamit sebanyak ± 50,000,000 unit atau setara dengan ± 500 bom atom. Daya ledaknya diukur dalam megaton (juta ton) TNT. Ledakan bom ini akan menghasilkan bola api dengan garis tengah beberapa kilometer disertai timbulnya awan cendawan yang tinggi sekali.

Supaya bisa terjadi reaksi fusi maka inti atom ini harus berada pada suhu yang sangat tinggi dengan berorde jutaan derjat celcius. Reaksi fusi terjadi pada matahari yang merupakan sumber energi di bumi. Maka pada bom hidrogen ini dipasang bom atom untuk mengawali ledakan sehingga menimbulkan suhu yang sangat tinggi, sebab hanya ledakan fisi U-235 atau fisi Pu-239 yang dapat mencapai suhu setinggi ini. Jika suhu itu sudah sangat tinggi rekasi fusi akan bisa terjadi. Maka dapat disimpulkan pada bom Hidrogen terdapat 2 bom nuklir, yaitu bom atom terjadi melalui reaksi fisi dilanjutkan ledakan besar akibat dari reaksi fusi. Hasil dari reaksi ini berupa gas He dan dalam reaksi di lepaskan neutron cepat.

Apakah anda tahu bahwa cuma ada 6 negara yang bisa melakukan Reaksi Fusi ini yaitu : Amerika, Uni Soviet (sekarang Rusia), Inggris, Perancis, cina dan India. Amerika Serikat adalah negara yang pernah menggunakan senjata nuklir untuk menyerang negara lain, yaitu pada peristiwa pengeboman Hiroshima dan Nagasaki di Jepang. Uji coba senjata nuklir pertama kali di trinity pada tahun 1945, Pemerintahan Amerika Serikat melalui presidennya Harry S Truman pada tanggal 31 januari 1950 mengeluarkan pernyataan tentang dukungan pemerintah Amerika Serikat dalam pengembangan bom hidrogen. Di pulau Karang Elugelab kepulauan Pacific Marshall, Amerika Serikat meledakkan 'Ivy Mike' pada tahun 1952, ini adalah bom hidrogen yang pertama di dunia dan meledakkan bom hidrogen “Castale Bravo” pada tahun 1954. Uni Soviet (sekarang Rusia) juga pernah meledakkan bom hidrogen ("Joe-4") pada 1953 dan bom Hidrogen Megaton pada 1955 ("RDS-37"). Inggris menguji bom hidrogen pada tahun 1957, Ia bekerjasama dengan Amerika Serikat melakukan uji senjata nuklir("Hurricane") pada tahun 1952. Prancis melakukan tes meledakkan bom hidrogen pada tahun 1968. China menguji bom hidrogen yang pertamanya pada tahun 1967. India melalui pemerintahannya menyatakan negaranya telah menguji bom hidrogen namun banyak negara yang meragukan pernyataan ini. Kemudian tahun 2005, Amerika Serikat mendeklarasikan India sebagai negara nuklir yang bertanggung jawab.

Jika Bom Hidrogen kita bandingkan dengan Bom Atom, dimana bom atom pernah diledakkan di kota Hirosima dan Nagasaki. Bom atom diledakkan bisa menghancurkan kota Hirosima dan Nagasaki, Bisa kita bayangkan jika meledakkan bom Hidrogen disuatu tempat pasti efek ledakkannya akan jauh lebih besar dari bom atom. Dan luas daerah yang terkena imbas akibat ledakan bom hidrogen akan jauh lebih luas dibandingkan akibat ledakan bom atom. Sekarang ini, selain dari bom atom dan bom Hidrogen, ada bom yang baru dikenal bernama bom kobalt. Bom ini di buat dengan menyelubungi bom hidrogen dengan wadah yang terbuat dari kobalt biasa yang tebal.

Mari kita renangkan bila antar negara saling bertempur dan meledakkan bom – bom dahsyat, apa yang bakal terjadi dengan kita, Bumi serta isinya. Amat sulit untuk kita bayangkan keadaan ini jika benar – benar terjadi. Untuk itu, mungkinkah muncul nota kesepahaman bahwa senjata nuklir tidak perlu lagi digunakan di waktu mendatang. Dan yang perlu dipertanyakan sudah siapkah Indonesia dalam menghadapi segala kemungkinan dan peluang yang akan terjadi baik ancaman keamanan dari eksternal maupun internal serta menjaga keutuhan NKRI, karena tak ada seorang pun yang tahu apa yang bakal terjadi kedepannya.

PARTIKEL ANTI MATERI

PARTIKEL ANTI MATERI
SAFRIYATI (MTsN GRONG-GRONG)

Besarnya keingintahuan manusia membuat dinamika dan perkembangan ilmu pengetahuan telah banyak mengungkapkan banyak misteri alam semesta. Manfaat dari perkembangan ilmu itu sendiri pun telah membawa dampak yang luar biasa dalam kehidupan. Meskipun terungkapnya sebuah misteri itu kadang hanya diawali dengan teori, dimana teori itu sendiri terkadang kurang mendapat tanggapan saat disampaikan.

Salah satu misteri alam semesta yang keberadaannya pertama kali diusulkan oleh Paul Dirac tahun 1928 adalah adanya partikel anti materi. Partikel seperti proton, elektron, neutron, dan yang lainnya ternyata memiliki partikel anti materi. Anti materi itu sendiri merupakan partikel yang memiliki muatan berlawanan dengan partikel pasangannya. Setiap partikel memiliki partikel anti materi. Sebagai contoh positron adalah anti materi dari elektron, jadi bisa disebut positron adalah elektron yang bermuatan positif. Anti proton adalah anti materi proton, jadi anti proton bisa disebut proton yang bermuatan negatif. Anti proton ini tercipta di antariksa dan membombardir Bumi dalam bentuk sinar kosmik yang bergerak dengan kecepatan yang mendekati dengan kecepatan cahaya. Yang unik adalah sifat dari partikel anti materi ini,dimana partikel anti materi langsung hilang saat kontak dengan materinya menjadi energi dalam bentuk sinar gamma. Observasi yang telah dilakukan menunjukkan bahwa keberadaan partikel anti materi di jagad raya ini sedikit sekali, hampir semua berupa materi, sementara bila dianggap pada masa awal terciptanya awal semesta ini jumlah materi sama dengan jumlah anti materi, maka pertanyaannya adalah kemana partikel anti materi ini?

Secara eksperimen dapat ditunjukkan bahwa partikel anti materi tidak stabil, segera meluruh setelah tercipta. Meski demikian eksplorasi terus dilakukan tidak hanya dilakukan di laboratorium, tapi hingga ke antariksa. Dana yang dikeluarkan pun tidak dapat dikatakan sedikit, tetapi sampai saat ini tetap berlanjut untuk mempelajari lebih jauh tentang anti materi. Selain itu juga ini berguna untuk mempelajari alam semesta, termasuk untuk menguji kebenaran teori Big-Bang tentang asal-usul lahirnya alam semesta ini. Penelitian anti materi ini juga bukanlah hal yang mubazir. Saat ini hasilnya sudah bisa dinikmati manfaatnya dalam dunia kedokteran, khususnya dalam hal pencitraan medis. Sudah tentu dalam bidang partikel, hasil penelitian anti materi ini sangat besar manfaatnya.

Lalu bila ada partikel anti materi untuk setiap materi atau partikel, muncul pertanyaan apakah ada anti atom yang tersusun dari anti proton dan anti neutron?kenyataan menunjukkan belum ditemukan anti atom dialam semesta. Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa anti materi segera meluruh, maka anti proton dan anti neutron meluruh sebelum bergabung untuk membentuk inti nukeus.

Pertanyaan selanjutnya apak mungkin membuat anti atom? Menurut Declan Keane, fisikawan di Kent State University di Ohio, diperlukan dua kondisi untuk membuat anti atom : pertama, dibutuhkan energi yang sangat tinggi untuk menghasilkan anti materi, dan kedua, dibutuhkan “benda-benda” disekitar untuk memberikan kesempatan partikel anti materi bertemu anti materi lain untuk membentuk anti atom sebelum partikel anti materi itu hilang. Tim eksperimen pada Low Energy Antiproton Ring (LEAR) di CERN pada tahun 1995 telah mampu membuat anti atom Hidrogen, dan tahun 2002 mampu memproduksi ribuan anti atom Hidrogen. Hanya saja kata “ribuan” masih merupakan jumlah yang sangat kecil. Sebab untuk mengisi satu balon mainan saja dengan anti atom Hidrogen, dibutuhkan waktu hingga milyaran tahun untuk memproduksi anti atom tersebut.

Energi yang terkandung dalam anti atom kelihatannya memang fantastis, satu gram anti materi mengandung energi yang setara dengan 20 kiloton TNT, energi yang luar biasa dahsyat, tapi sekali lagi, dengan teknologi yang ada sekarang dubutuhkan waktu selama 2 milyar tahun untuk memproduksi satu gram anti atom Hidrogen. Rentang waktu yang bisa dikatakan tidak mungkin untuk dilakukan. Belum lagi biaya yang harus dikeluarkan. Akan tetapi lain ceritanya bila para ilmuwan mampu menciptakan teknologi jauh lebih canggih dan efisien.

Deskripsi dinamika biomaterial elementer sebagai fenomena fisika non-linier ..

Apakah itu biomaterial elementer ? Mengapa hal tersebut penting dikaji dan diteliti ? Seberapa jauh efek lingkungan terhadap dinamika biomaterial elementer tersebut ? Banyak sekali pertanyaan seputar misteri elemen pembentuk dasar makhluk hidup yang belum diketahui hingga saat ini.

Biomaterial adalah istilah penulis untuk 'materi-materi hayati' alias semua materi yang secara organik 'hidup' alias mampu melakukan replikasi dan memiliki dinamika mandiri. Elementer adalah sesuatu yang menjadi 'pembentuk paling dasar'. Sehingga biomaterial elementer dimaksudkan sebagai materi yang menjadi pembentuk paling dasar dari sebuah mahkluk hidup. Saat ini yang termasuk kategori ini adalah DNA (deoxyribonucleic acid) yang berwujud dalam bentuk misalnya untaia yang mampu melakukan replikasi seperti ditunjukkan di gambar. Sebagai ilustrasi, untai ganda DNA seperti gambar di samping membentuk molekul dengan ukuran lebih kurang 2 x 8 nanometer (1 nm = 10-9 m). Sehingga tidak berlebihan bila dikatakan 'teknologi hayati' terkait rekayasa biologi molekular termasuk nanoteknologi. Sebenarnya, jauh sebelum popularitas istilah nano dan nanoteknologi, rekayasa bioteknologi selalu berurusan dengan fenomena skala nano !

Dilain pihak, dalam skala yang lebih besar sudah lebih dahulu dikenal beragam protein sebagai unsur dasar pembentuk mahkluk hidup. Namun berbeda dengan level DNA, fenomena di level protein jauh lebih makroskopik dari skala DNA. Tidak mengherankan rekayasa teknologi di level protein jauh lebih maju karena telah banyak eksperimen yang berhasil dilakukan untuk melakukan aneka rekayasa dan atau pengamatan atas sifat dan karakteristik protein. Sudah tidak terhitung berapa banyak protein yang telah berhasil diidentifikasi dan dikenal, semuanya terangkum dalam database online terbuka di PDB (Protein Data Bank) [1] yang juga disimpan di ARSIP LIPI dan bisa diakses publik secara cuma-cuma [2].

Apa kesulitan mengobservasi DNA yang 'hanya' di level nanometer, padahal saat ini manusia telah mampu 'mengamati' tumbukan partikel elementer yang berskala 10-18 m ? Partikel elementer seperti elektron, kuark, foton dan sebagainya adalah materi non-hayati alias mahkluk mati dan statis tanpa ada interaksi dengan materi lain. Sebaliknya DNA, seperti juga protein, adalah mahkluk hidup dan memiliki makna hanya bila dalam kondisi 'hidup'. Sehingga pengamatan mempergunakan 'nano'-skop berbasis mesin akselerator seperti selama ini dilakukan dengan menembakkan partikel nuklir mengakibatkan biomateri langsung 'mati' dalam waktu sangat singkat. Tidak heran, eksperimen untuk mengetahui dinamika biomateri elementer saat ini dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu mencari teknologi alternatif untuk melihat dinamika biomateri pada skala nano secara waktu riil tanpa memakai akselerator, atau mengembangkan detektor berkemampuan tinggi untuk 'memotret' dengan resolusi waktu yang setara dengan masa hidup biomateri yang dibombardir dengan partikel nuklir di akselerator [3,4]. Teknologi alternatif yang banyak dikembangkan selain radiasi synchroton yang berbasis akselerator adalah sinar X [3]. Sayangnya sinar X juga memiliki dampak mematikan bagi obyek meski menjanjikan waktu hidup yang lebih lama.

Menghadapi eksperimen yang semakin maju dan suatu saat akan berhasil melakukan pengamatan menyeluruh atas dinamika biomateri, apa yang harus dilakukan oleh para peneliti, khususnya di bidang teori ? Seperti diketahui, kajian sains teori hanya ada di dua bidang ilmu dasar yaitu fisika dan matematika. Dan keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan sejak awal peradaban manusia. Fisika memerlukan matematika sebagai alat bantu untuk mendeskripsikan penjelasan fisika secara kuantitatif, sebaliknya perkembangan matematika dipicu dan diinisiasi oleh kebutuhan di bidang fisika. Teori-teori fisika kemudian 'diaplikasikan' dalam berbagai kajian lain seperti kimia, teknik dan sebagainya.

Mengapa teori fisika diharapkan untuk memberikan kontribusi di kajian biomaterial elementer ? Khususnya di level DNA, diyakini efek reaksi kimia semakin kecil, karena skala nano hanya mengandung beberapa atom ( ukuran 1 atom lk. 1 Amstrong = 10-10 m). Sehingga dibandingkan dengan reaksi kimia antar atom dari unsur yang berbeda sebagai pembentuk biomateri, 'dinamika fisis' antar atom pembentuk tersebut jauh lebih dominan. Pemodelan fisis dinamika DNA berbasis interaksi fisika ini dipelopori oleh Davydov, Peyrard dan Bishop tiga dekade lampau.

Namun aneka model yang diajukan untuk menggambarkan interaksi antar materi pembentuk sebuah untai ganda DNA yang secara skema di gambar di samping lebih bersifat fenomenologis dan mayoritas berbasis model yang dikembangkan oleh Davydov, Peyrard dan Bishop. Salah satu contoh adalah model yang grup penulis kembangkan untuk menjelaskan fenomena pelipatan protein dikaitkan dengan perusakan simetri [5]. Yang dimaksud dengan fenomenologis adalah sekedar ditujukan untuk menjelaskan hasil pengamatan eksperimen, dan tidak untuk menjawab 'mengapa' mekanisme tersebut terjadi. Padahal filosofi fisikawan teori adalah menjelaskan mengapa sesuatu terjadi, sedangkan hasil eksperimen lebih ditujukan untuk melakukan klarifikasi atas teori-teori yang telah diajukan sebelumnya.

Untuk itu grup penelitian penulis mencoba melakukan kajian terkait dinamika biomateri ini berbasis interaksi fisika dengan memanfaatkan pengetahuan di fisika partikel elementer. Mengikuti logika di fisika partikel, kajian dimulai dengan mendeskripsikan 'materi elementer' yang terkait dalam sebuah fenomena. Mengapa 'elementer' ? Dari pengalaman di fisika partikel, akan jauh lebih mudah untuk membangun sebuah teori dasar secara konsisten bila materi terkait berjumlah seminimal mungkin. Sehingga tidak mengherankan bahwa teori fisika yang sudah baku berbasis pada interaksi di level partikel elementer dan bukan di level nuklir. Karena di level nuklir terdapat ratusan jenis materi nuklir, dibandingkan dengan 16 jenis partikel elementer ditambah 1 partikel hipotetik Higgs yang belum diketemukan ! Logika yang sama diaplikasikan pada biomateri. Dibandingkan dengan membangun teori di level protein yang bisa mencakup ribuan jenis, akan jauh lebih mudah mendeskripsikan dinamikan di level DNA. Misalnya untuk kasus untai ganda DNA di gambar di samping, cukup diwakili dengan ikatan antara nukleoside dan fosfat dengan 3 jenis interaksi : 1) ikatan basa antara 2 untai, 2) ikatan nukleoside dan fosfat dalam satu nukleotide, serta 3) ikatan nukleoside dan fosfat dalam satu untai [6]. Teori ini dikembangkan sebagai salah satu aplikasi pemodelan plasma sebagai fluida relativistik sebelumnya [7].

Salah satu aspek yang menarik secara teoritis sejak awal teori biofisika adalah fenomena non-linieritas di dinamika biomateri. Saat ini fenomena non-linier di biomateri telah menjadi pengetahuan baku, dan banyak sekali kajian terkait selama 2 dekade terakhir. Salah satunya adalah efek osilasi pada monomer protein yang memicu fenomena 'aneh' berupa kapasitas panas (heat capacity) yang bisa bernilai negatif untuk ruang parameter tertentu. Grup penulis juga melakukan kajian ini dengan memakai metoda yang baru, yaitu path integral untuk menghitung osilasi amide-I dan amide-site murni sebagai sebuah sistem kuantum [8,9]. Prediksi anomali berbasis teori semacam inilah yang kelak akan dikonfirmasi kebenaran / kesalahannya melalui eksperimen di masa depan. Era teori sebagai penunjuk arah eksperimen di kajian hayati

Apakah makna dari uraian diatas ? Ini menunjukkan bahwa (bahkan) kajian hayati sekalipun telah memasuki era theory driven experiments. Yaitu era dimana eksperimen akan dipicu dan diinisiasi oleh penemuan teoritik. Hal yang sama telah dialami komunitas fisika dasar di awal tahun 1930-an. Sebelumnya eksperimen dilakukan berbasis pengamatan dan hipotesa eksperimen sebelumnya. Tetapi memasuki era 1930-an, eksperimen yang bisa dilakukan berbasis pengamatan fisis langsung telah habis. Eksperimen tidak bisa dilakukan hanya berbasis coba-coba (try and error), karena sedemikian banyaknya kemungkinan dan ruang parameter yang terkait. Selain juga semakin besarnya dana yang diperlukan seiring dengan semakin kompleksnya eksperimen yang harus dilakukan.

Secara umum, dengan memasuki ranah elementer yang jelas-jelas tidak kasat mata, sangat mustahil untuk menemukan sesuatu yang baru tanpa bimbingan teori, baik secara analitik maupun numerik dengan komputasi. Tidak terkecuali di kajian berbasis protein maupun DNA. Tidaklah mengherankan bahwa salah satu topik hangat secara global adalah biofisika seperti diatas dan bioinformatika. Berbeda dengan biofisika yang berbasis model dan deskripsi kuantitatif, bioinformatika melakukan pendekatan fenomenologis dengan memproses dan mensintesa kemungkinan kombinasi yang relevan dari lautan data (protein dsb) memakai teknologi informasi khususnya teknik-teknik penambangan data (data mining). Salah satu anggota grup penulis di kajian komputasi (Zaenal Akbar) juga aktif dalam topik ini dengan mengaplikasikan teknik komputasi dan data terdistribusi di Universitas Konstanz di Jerman.

PARTIKEL ELEMENTER

Pernahkah kita berfikir, jika suatu materi (misalnya selembar kertas) kita pilah menjadi dua, kemudian hasil pilahannya kita pilah kembali menjadi dua, dan seterusnya. Andaikan kita memiliki kemampuan untuk terus memilah materi tersebut, maka kita akan sampai pada suatu keadaan dimana materi tersebut tidak dapat lagi kita pilah. Pada saat itu dapat dikatakan, kita telah mendapatkan satu bagian dari materi tersebut yang bersifat elementer. Bagian tersebut dikenal dengan istilah partikel elementer.

Ide bahwa komposisi yang ada didalam suatu materi di alam semesta ini tersusun dari partikel elementer berawal pada abad ke-6 sebelum masehi. Yang mempelajari mengenai hal tersebut diantaranya adalah filsuf Yunani kuno seperti Leucippus, Democritus dan Epicurus; filsuf India Kuno seperti Kanada, Dignaga dan Dharmakirti; kemudian disusul oleh ilmuwan medis seperti Alhazen, Ibnu Sina dan Al Ghazali; dan selanjutnya oleh fisikawan modern Eropa seperti Pierre Gassendi, Robert Boyle dan Isaac Newton. Teori mengenai partikel cahaya pun dikemukakan oleh Alhazen, Ibnu Sina, Gassendi dan Newton. Ide awal ini merupakan hal yang bersifat abstrak dan filosofis ketimbang eksperimen dan observasi empiris.

Setahap demi setahap para ilmuwan mulai menyingkap tabir dibalik materi yang ada di alam semesta ini. Cara pandang orang terhadap materi pun setahap demi setahap berubah seiring dengan teori-teori baru yang dikemukakan oleh para ilmuwan yang kemudian dibuktikan kebenarannya lewat eksperimen yang bersesuaian dengan teori tersebut, atau sebaliknya.

Pada tahun 1803, John Dalton mengemukakan pendapatnya bahwa setiap elemen di alam semesta ini tersusun oleh partikel yang bersifat tunggal dan unik, ia kemudian menyebut partikel tersebut dengan istilah atom, yang dalam bahasa Yunani kata atomos mengandung makna tidak terbagi. Diakhir abad ke-19 tepatnya tahun 1897, J.J.Thomson dan timnya menemukan elektron yang merupakan komponen dari semua jenis atom. Model atomnya kemudian dikenal dengan istilah plum pudding karena elektron digambarkan seperti kismis yang tersebar merata diatas pudding (yang bermuatan positif) , ini berarti atom tidak dapat lagi dikatakan sebagai partikel elementer. Awal abad ke 20 yaitu pada tahun 1909 Ernest Rutherford dan timnya menemukan fakta baru bahwa muatan positif tidak tersebar merata, melainkan terkonsentrasi pada inti atom yang terletak ditengah-tengah atom dimana elektron mengelilingi inti tersebut. Penemuan ini memicu berkembangnya teori mengenai inti atom dan perilaku elektron yang mengelilinginya. Tidak berhenti sampai disitu, jika elektron dapat dimasukkan dalam kategori partikel elementer, lain halnya dengan inti atom, ternyata inti atom pun merupakan partikel komposit dimana didalamnya terdapat proton dan neutron dalam jumlah tertentu. Di tahun 1919 Rutherford membuktikan bahwa inti hidrogen juga ditemukan pada inti atom lain. Hal ini dianggap sebagai penemuan mengenai keberadaan proton. Dan tahun 1932 James Chadwick mengemukakan pendapatnya mengenai neutron yang menjelaskan keberadaan isotop dari suatu unsur. Akhirnya pada tahun 1964 dua orang fisikawan secara terpisah yaitu Murray Gell-Mann dan George Zweig mengemukakan pendapatnya mengenai quark dan kemudian dibuktikan keberadaannya pertama kali pada tahun 1968 dalam suatu eksperimen yang di lakukan di SLAC (Stanford Linear Accelerator Center). Quark merupakan partikel elementer penyusun proton dan neutron. Sampai sekarang quark masih dianggap sebagai partikel elementer karena belum ada bukti baik secara eksperimen maupun teori tentang keberadaan partikel yang lebih fundamental dari quark tersebut. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa, yang dianggap sebagai partikel elementer di tiap-tiap era adalah berbeda-beda, sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan pada era tersebut.

Sekarang ini, berdasarkan model standar, terdapat 16 partikel elementer. Model standar adalah kerangka bekerja teoritis yang menggambarkan seluruh partikel elementer yang telah diketahui dan dibuktikan keberadaannya secara eksperimen. Ke 16 partikel tersebut digambarkan dalam sebuah diagram seperti pada gambar berikut ini.

Partikel elementer penyusun materi yang berada pada kolom pertama, kedua dan ketiga (12 partikel) masuk dalam kategori fermion, partikel-partikel tersebut mematuhi kaidah yang berlaku pada statistika Fermi-Dirac (dikemukakan oleh Enrico Fermi dan Paul Dirac secara terpisah) diantaranya adalah , memiliki spin kelipatan ½, mematuhi prinsip eksklusi Pauli dan fungsi gelombangnya bersifat antisimetri. Sedangkan yang berada pada kolom terakhir (4 partikel) masuk kategori boson. “Mereka” adalah partikel elementer yang menjadi mediator (perantara) pada proses terjadinya suatu interaksi dan mematuhi statistika Bose-Einstein (dikemukakan oleh Satyendra Nath Bose dan Albert Einstein secara terpisah) diantaranya adalah memiliki spin kelipatan bilangan bulat, tidak mematuhi prinsip eksklusi Pauli dan fungsi gelombangnya bersifat simetris.

Bagian yang berwarna ungu adalah partikel yang masuk kategori quark. Terdapat 6 jenis quark yaitu: up, down, charm, strange, top dan bottom. Murray Gell-Mann memberi nama partikel tersebut dengan sebutan quark setelah ia mendengar bunyi bebek (kwork kwork kwork) dan membaca buku karangan James joyce yang berjudul Finnegans Wake yang didalamnya terdapat kata quark. Di alam semesta, quark tidak ditemukan “seorang diri” melainkan berada secara bersama dalam suatu partikel komposit bernama hadron. Salah satu jenis partikel hadron adalah proton. Bagian yang berwarna hijau adalah partikel yang masuk kategori lepton. Terdapat 6 jenis lepton yaitu: electron, electron neutrino, muon, muon neutrino, tauon, dan tauon neutrino. Kata Lepton berasal dari bahasa yunani, leptos yang artinya tipis. Pada awalnya partikel elementer jenis ini dinamakan lepton oleh Léon Rosenfeld pada tahun 1948 karena memiliki massa yang sangat kecil. Saat itu, baru electron dan muon yang diketahui keberadaannya dan massa keduanya sangat kecil dibandingkan dengan massa proton. Namun saat tauon ditemukan sekitar tahun 1970, ternyata massanya hampir 2 kali massa proton. Tetapi penamaan lepton tetap dipertahankan.

Bagian yang berwarna merah adalah partikel yang masuk kategori boson. Terdapat 4 jenis boson yaitu photon, gluon, Z-boson dan W-boson. Keempatnya merupakan mediator pada interaksi fundamental dalam fisika. Photon adalah mediator pada interaksi elektromagnetik; gluon adalah mediator pada interaksi kuat dan Z-boson dan W-boson adalah mediator pada interaksi lemah. Terdapat empat interaksi fundamental dalam fisika, tiga diantaranya sudah disebutkan diatas dan yang keempat adalah interaksi gravitasi. Saat mempelajari partikel elementer, interaksi gravitasi diabaikan karena pengaruhnya sangat kecil dan dapat diabaikan. Analoginya adalah sama seperti saat kita mengabaikan gesekan udara pada waktu menghitung energi mekanik dari batu yang dijatuhkan dari ketinggian tertentu diatas permukaan bumi.

Pada paragraph awal, saya menuliskan kalimat, Andaikan kita memiliki kemampuan untuk terus memilah materi tersebut. Pada kenyataannya kita, manusia memang memiliki kemampuan tersebut, namun hal tersebut bukanlah perkara gampang, hanya laboratorium besar berskala internasional saja yang mampu melakukannya. Mengapa hal tersebut menjadi suatu hal yang sulit? analogi yang mudah adalah dengan melakukan suatu eksperimen sederhana yaitu dengan merobek kertas, saat kita merobek selembar kertas menjadi dua bagian, hal tersebut dapat dilakukan dengan mudah, kemudian kita robek lagi dan lagi dengan cara yang sama, ternyata makin kecil robekan kertas tersebut, makin sulit kita merobeknya untuk mendapatkan ukuran yang lebih kecil dari sebelumnya, artinya dibutuhkan energi yang besar untuk memilah suatu zat yang dimensinya sangat kecil sehingga kita dapat mempelajari apa yang ada dalam zat tersebut. Karena itu pula ilmu yang mempelajari mengenai partikel elementer dikenal dengan istilah high energy physics atau fisika energi tinggi.

Salah satu konsekuensi dari energi yang besar tersebut adalah, dibutuhkannya dana yang “cukup” untuk membangun instalasi laboratorium yang dapat menjadi tempat dilakukannya eksperimen untuk mempelajari partikel elementer tersebut. Beberapa Negara besar telah memiliki laboratorium canggih semacam itu yang mampu melakukan eksperimen sehingga partikel elementer dapat dihasilkan dan dipelajari. Diantaranya adalah CERN (Conseil Européen pour la Recherche Nucléaire) yang berada di prancis-Swiss; Brookhaven National Laboratory, SLAC National Accelerator Laboratory dan Fermilab, ketiganya berada di Amerika Serikat; Budker Institute of Nuclear Physics di Rusia; DESY (Deutsches Elektronen Synchrotron) di Jerman; dan KEK (Kō Enerugī Kasokuki Kenkyū Kikō) di Jepang.

Semoga saja suatu saat nanti Indonesia pun memiliki laboratorium “keren” seperti contoh diatas. Sehingga fisika partikel sebagai cabang ilmu yang mempelajari partikel elementer dapat berkembang dan akhirnya dapat memberikan banyak manfaat bagi orang banyak baik langsung maupun tidak langsung.